FaktaJombang.com – Sebuah batu unik, terdapat di area persawahan Dusun Nanggalan, Desa Watugaluh, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Oleh warga sekitar, batu andesit itu dipercaya berkaitan erat dengan asal-usul desa Watugaluh.
Bentuk batu sebagai ‘tetenger’ desa itu, diyakini merupakan pucuk sebuah tugu yang ujungnya berbentuk bulat setengah lingkaran. Kalau disimak dari atas, terdapat cekungan pada ujung batu tersebut. Ada juga yang menyebut, batu tersebut adalah sebuah Lingga Yoni.
Konon, area lokasi batu ini pernah dilakukan penggalian hingga sedalam sekitar 5 meter. Didapati, batu tersebut masih menyambung ke dalam tanah dan ukurannya makin membesar. Penggalian pun dihentikan, karena belum mendapatkan tanda-tanda keberadaan Yoni.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski mirip puncak tugu, namun posisinya agak miring ke selatan timur atau tenggara. Konon, batu itu miring karena sempat ditarik menggunakan hewan kerbau saat membajak sawah. Hanya saja, upayanya gagal karena batu tersebut dipercaya bertuah alias keramat.
Muhammad Adib, pemerhati sejarah yang juga warga Desa Watugaluh mengatakan, batu andesit tersebut merupakan salah satu peninggalan Mpu Sindok, Raja Kerajaan Medang (Mataram Kuno) yang berkuasa saat kerajaan Medang berpusat di wilayah Jawa Timur.
Pada tahun 937 Masehi, Raja bergelar Sri Maharaja Rake Hino Dyaḥ Siṇḍok Sri Isanawikrama Dharmottuṅgadewawijaya ini, memindahkan ibukota Kerajaan Medang ke Watugaluh, setelah menang dalam peperangan melawan kerajaan Sriwijaya.
Perpindahan ibukota Kerajaan Medang ke Watugaluh ini, kata M Adib, diperkuat dengan prasasti Anjuk Ladang 937 yang berbunyi ‘Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh.’
“Ringkas artinya, ibukota kerajaan Bumi Mataram, berpindah ke Watugaluh,” paparnya, Sabtu (26/3/2022).
Juga diperkuat dengan berdirinya tugu Jaya Stambha dan tugu Jaya Mertha sebagai tugu kemenangan Mpu Sindo atas invasi kerajaan Sriwijaya kala itu.
M Adib menjelaskan, pusat kerajaan Medang yang awalnya berada di Mataram (Jawa Tengah), kerap mengalami perpindahan pusat ibukota hingga ke Jawa Timur, mulai di daerah Madiun, Nganjuk hingga Jombang.
Ia berterus terang tidak mengetahui, pusat ibukota kerajaan Medang ini berada dimana sebelum dipindah ke Watugaluh.
“Dalam prasasti Anjuk Ladang tidak dijelaskan pusat ibukota kerajaan Medang sebelum pindah ke Watugaluh. Kalau para Arkeolog mengatakan dari Tengaran ke Watugaluh. Kalau dari prasastinya, memang dari Tengaran pada 929 Masehi,” paparnya.
Dari prasasti Anjuk Ladang tersebut, M Adib mengatakan telah melakukan beberapa kali penelitian terkait nama Watugaluh, bersama beberapa pegiat sejara lain dan arkeolog.
“Muter-muter se-Indonesia, Watugaluh itu dimana, ya adanya di sini. Ada nama tempat Galuh itu Megaluh, ada nama Galuh-galuh lainnya tapi bukan Watugaluh. Nah, disini ini asli Watugaluh. Sejak mbah-mbah kami lahir, namanya ya Watugaluh. Sebelum Majapahit, sudah ada Watugaluh,” papar M Adib.
Berdasarkan prasasti Anjuk Ladang itulah, lanjutnya, kemudian hari lahir Desa Watugaluh ini dihitung mulai tahun 937 Masehi. “Kalau sampai tahun 2022 ini, sudah berusia 1.085 tahun. Dan peringatan ulang tahun digelar setiap 10 April,” ujarnya.
Selain batu Mbah Mbeh, M Adib juga memprediksi masih banyak peninggalan Mpu Sindok yang bertebaran di Watugaluh sebagai pusat ibukota kerajaan Medang, yang belum terkuak. Namun, dirinya sudah mendeteksi adanya 17 sumur srumbung yang masih tersembunyi.
“Ada jambangan raksasa di dam Jasem 700 meter ke arah timur utara. Kemudian ada sumber abadi, ini saya curiga, juga peninggalan dari Mataram kuno. Lalu, fibrasi dari sungai berbentuk cerung dan padas di Dusun Watugaluh, dan ada juga yang saya prediksi bekas jedingan atau tempat mandi orang dahulu,” ulas M Adib.
Batu Mbah Mbeh Diyakini Lingga Yoni
Batu andesit tersebut dikenal warga Desa Watugaluh dengan nama Batu Mbah Mbeh atau Batu Ki Ambeh. Hanya saja, tidak ada jejak sejarah dengan nama Ki Ambeh tersebut. Pun demikian dengan siapa penemu batu andesit tersebut pertama kali, juga tidak terekam jejakknya.
Menurut M Adib, nama Ki Ambeh lebih mengarah ke hal spiritual. Meski dirinya mengaku kurang mengetahui hal-hal di luar nalar manusia. Namun, masyarakat Watugaluh mempercayai, sosok penunggu batu berpahat tersebut adalah Ki Ambeh. Kemudian, sebutan itu diambil lebih gampang menjadi Mbah Mbeh.
“Kalau saya menamakan ini adalah Situs Watugaluh. Kalah nama Mbah Mbeh, lebih mengarah hal spiritual, karena masyarakat meyakini penunggu tempat sini adalah Ki Ambeh. Karena lidah Jawa, akhirnya Mbah Mbeh,” paparnya.
Dia memaparkan, sejumlah arkeolog memiliki 3 opsi terkait batu Mbah Mbeh ini. Ada sebagian yang menyebut batu tersebut adalah tugu batas ibukota Kerajaan Medang. Selain itu, batu tersebut merupakan tanda bahwa wilayah ini adalah batas tanah perdikan.
“Tanah perdikan itu adalah wilayah yang bebas pajak. Kalau ini dianggap tanah perdikan, berarti Watugaluh ini bebas pajak pada waktu itu. Kalau bisa ya sampai saat ini bebas pajak. Kan semua berhubungan dengan sejarah. Logikanya, tidak ada kerajaan Majapahit kalau keturunan Kediri memberikan Hutan Tarik,” ujarnya sembari tertawa.
Selanjutnya, batu tersebut juga disebut arkeolog merupakan tempat menambatkan hewan gajah sebagai kendaraan perang pada masa kerajaan.
Namun, Adib berbeda pendapat dengan prediksi para arkeolog tersebut. Ia mengatakan jika batu tersebut bukan sekedar tugu batas ibukota, atau patok batas tanah perdikan, atau tempat menambatkan kendaraan perang. Dia meyakini batu Mbah Mbeh merupakan Lingga Yoni sebagai satu tempat pemujaan zaman dulu.
“Saya meyakini ini pucuk sebuah Lingga. Sedangkan Yoni-nya terpendam dalam tanah ini. Ini berdasarkan relief yang ada di batu Mbah Mbeh,” ujarnya.
Hal ini, katanya, juga diperkuat bahwa masyarakat pada zaman Mataram Kuno menganut agama Hindu beraliran Jawa. “Tapi tetap menyembah Sang Hyang Wenang. Sang pengauasa segala kewenangan,” ujarnya.
Untuk relief batu Mbah Mbeh, M Adib menjelaskan, bentuk salah satu sisi pada pahatan yang tampak di atas dasar tanah sekarang, bergambar seperti Dewa.
“Tapi bukan Dewa Ganesha. Semacam menggendong putri. Kalau diamati dari jauh, dia seperti memegang sebuah daun yang besar. Yang semakin jelas itu, dia bermahkota besar,” papar M Adib.
Disinggung jenis atau corak pahatan atau ukiran berasal dari mana, apakah dari Jawa Tengah atau Jawa Timur, dia belum bisa mengidentikkan berasal daerah mana. Mengingat, terjadi perpindahan ibukota dari semula di Jawa Tengah bergeser ke Jawa Timur.
“Dari gambar pahatan, itu bisa dikatakan pada masa kemenangan Mpu Sindok. Tapi jenis pahatannya, saya nggak bisa menyampaikan pahatan itu dari Jawa Tengah atau Jawa Timur. Yang pasti pahatan Jawa,” jawabnya.
Diperlukan Ekskavasi
Agar diketahui secara pasti dan tidak memunculkan banyak tafsir terkait batu andesit Mbah Mbeh ini, M Adib berharap dilakukan ekskavasi. Hal ini juga sebagai upaya generasi saat ini melakukan uri-uri sejarah keberadaan dan kejaayaan kerajaan masa lampau.
“Bagi saya, apapun ini monggo saling menjaga, diuri-uri, sebagai bentuk terima kasih kita pada mbah buyut, kepada raja-raja atau pendahulu kita,” ungkap M Adib.
Sementara itu, perangkat desa Watugaluh, Sutopo mengatakan, situs Watugaluh yang juga dikenal Batu Mbah Mbeh ini selayaknya dirawat agar tidak rusak. Hal ini sebagai upaya melestarikan kebudayaan di desa setempat.
Pihaknya juga mengaku tergerak, situs Watugaluh ini perlu dilakukan ekskavasi. Agar apa saja yang berada di dalam tanah area Batu Mbah Mbeh ini bisa terungkap. Tentunya perlu koordinasi dengan Pemkab Jombang, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Jombang dan BPCB Jawa Timur.
“Ya sangat perlu adanya pemugaran di sekitaran situs Watugaluh ini. Agar kita lebih tahu secara detail apa saja yang ada di dalam sana. Bukan hanya tampak sekedar batu saja,” katanya.
Disinggung apakah sejauh ini sudah pernah mengajukan ekskavasi, Sutopo menjawab, kalau Pemdes Watugaluh belum mengajukan ekskavasi. Hanya saja, sejumlah pendekatan dilakukan secara personal agar situs Watugaluh ini diekskavasi. Dan lagi, batu Mbah-Mbeh ini sudah masuk dalam daftar BPCB Jatim.
“Nah, mulai ini saya secara pribadi, sangat tergerak. Kami akan mencoba mengajukan ekskavasi situs Watugaluh ini ke dinas terkait. Semoga saja mendapat respon positif,” ujarnya.
Kejadian Tak Lazim di Sekitar Batu Mbah Mbeh
Tempat batu Mbah Mbeh atau Ki Ambeh, dipercaya merupakan lokasi bertuah atau sakral. Beberapa kejadian tak masuk akal, kerapkali terjadi di sekitaran lokasi ini.
M Adib mengatakan, berdasarkan cerita masyarakat yang diterimanya, pernah muncul sosok ular ajaib. Selain itu, pancaran cahaya.
“Dan di sini kalau dikasih lampu, cepat mati. Makanya, sampai saat ini dibiarkan tidak dikasih penerangan. Ada juga cerita, pernah ada yang menemukan emas, tapi ya yang menemukan diam-diam. Tapi soal mistis ini, kami nggak nutut, bukan wilayah kami,” katanya.
Sementara Sutopo menambahkan, lokasi batu Mbah Mbeh ini kerapkali menjadi tempat ritual dengan meminta sesuatu kepada Allah SWT. Ia menilai, tempat ini memiliki tuah sangat tinggi.
“Banyak juga orang termasuk teman saya sering ke sini, ya namanya tawasul. Artinya, saya menilai tempat ini memiliki karomah cukup tinggi. Sebab apa, dia berdoa minta sesuatu lalu hajatnya terkabul. Nah, kemudian mereka tasyakuran di sini, ya bawa tumpeng atau ambeng,” paparnya.
Sementara itu, Imam Supardi, tokoh masyakarat setempat menceritakan, banyak kejadian aneh yang dialami sejumlah warga bila tidak santun di area ini. Tempat ini, katanya, sempat dilarang untuk dikunjungi, karena dinilai musyrik oleh salah satu tokoh masyarakat.
“Nah, kejadian ini sekitar tahun 1985, batu itu mau dipindah oleh seseorang. Ditarik menggunakan kerbau. Tapi nggak bergerak sama sekali. Kemudian, orangnya jatuh sakit mati separuh, kalau sekarang disebut stroke,” kata Kamituwo Dongkol (sebutan mantan bagi orang dulu) ini.
Kejadian lain, lanjutnya, yakni dialami Bayan karena area ini merupakan tanah bengkok bayan. “Waktu itu, pak Bayan Syaiful menggarap sawahnya, menemukan seekor ular sedang melintas. Ular itu lalu dibacok dan putus jadi dua. Tapi anehnya, ular itu nyambung kembali, ya hidup. Selang beberapa hari, pak Syaiful lalu sakit stroke selama tiga bulan. Itu cerita sendiri sama saya,” kata Imam Supardi.
Selanjutnya, kejadian aneh yang menimpa warga sekitar yang membawa pulang gerabah kecil yang ada di lokasi batu Mbah-Mbeh. “Namanya pak Kusaini atau pak Bandil. Malamnya setelah membawa pulang barang ini, dia mimpi disuruh mengembalikan,” ceritanya sembari menunjukkan gerabah kecil tersebut.
Sementara itu, Agus, pegiat spiritual berharap, agar siapapun santun ketika masuk ke semua tempat, terutama tempat yang disakralkan seperti situs Watugaluh atau batu Mbah Mbeh ini. Dia mengatakan, kejadian-kejadian aneh itu akan terjadi saat seseorang itu memiliki niatan buruk atau tidak santun.
“Nah, seperti di sini ada gapura bertulis Sowan, artinya pintu masuk dan gapura Pamit artinya pintu keluar. Jika mematuhinya, ini merupakan bentuk santun kita kepada tempat sakral, ya tentunya mengucap salam dulu ya,” kata pria yang akrab disapa Mbah Gendeng ini.
Hanya saja, FaktaJombang.com saat mewawancarai Mbah Gendeng terkait hal mistis plus sosok penunggu di area batu Mbah Mbeh, sedikit mengalami kejadian unik.
Yakni, suara Mbah Gendeng tidak terekam, meski colokan microphone yang tersambung pada handphone tidak dilepas sama sekali alias masih pada posisi semula saat merekam narasumber M Adib, Sutopo dan Imam Supardi sebelumnya.
Entah kebetulan atau ada isyarat sesuatu, FaktaJombang.com tetap beranggapan, bahwa hal tersebut merupakan kesalahan teknis.
Tonton videonya:
Penulis : Arief Anas