FaktaJombang.com – Meski jumlahnya semakin berkurang, sejumlah warga Dusun Mambang, Desa Tondowulan, Kecamatan Plandaan, Kabupaten Jombang, masih setia bergelut di bisnis pembuatan perkakas rumah tangga yang terbuat dari tanah liat ini.
Seperti yang dilakoni Suparti (49), warga setempat. Ia mengaku masih setia bikin perkakas yang terbilang membutuhkan proses cukup panjang ini. Gerabah itu, dia buat dengan memanfaatkan ruang kosong di area rumahnya, termasuk halaman rumahnya.
Proses pembuatan gerabah ini, menurut Suparti, diawali pemenuhan bahan baku yakni tanah liat terbaik. Kemudian, dibentuk menggunakan alat yang bisa diputar secara manual. Setelah itu, dikeringkan, dan terakhir, dibakar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Hampir 20 tahun, saya membuat gerabah. Kalau tanah liatnya, kebetulan di belakang rumah cukup bagus dijadikan bahan baku,” kata Suparti di sela-sela aktivitasnya membentuk tanah liat pada alat yang memutar tersebut.
Dirinya mengaku membuat gerabah, meneruskan pekerjaan yang sudah dilakoni bapak dan kakeknya sebelumnya. “Ini sih pekerjaan turun-temurun,” sambungnya.
Meski terbilang tak lagi berusia muda, perempuan paruh baya ini terlihat cukup gampang membentuk gerabah. Mulai membuat Nanangan atau wadah penggorengan kopi, Cobek, Kendil, serta Gentong.
Selesai membentuk, Suparti pun langsung memindahkannya ke halaman depan rumahnya. Gerabah setengah jadi buatannya itu kemudian dia dijemur secara berjajar.
“Saya masih mampu membuat sebanyak 12 biji gerabah dalam sehari. Begitu cukup terkumpul, baru pembakaran,” paparnya kepada FaktaJombang.com, Jumat (12/11/2021).
Setelah gerabahnya jadi dan siap jual, Suparti mengatakan tidak perlu memasarkannya sendiri ke penjual atau ke pasar. Sebab, hasil kerajinannya itu langsung diambil oleh pengepul atau tengkulak langganannya.
“Satu gerabah nanangan ini, dihargai Rp 10 ribu,” kata Suparti.
Meski terbilang cukup murah, Suparti mengaku tetap bersyukur dengan apa yang dia dapatkan dari hasil keringatnya sendiri. Menurutnya, kebutuhan gerabah sejumlah jenis yang saat ini dia garap tidak sebanyak kala itu.
“Kalau dulu kan kebutuhan gerabah, masih banyak. Makanya di Dusun ini banyak perajinnya. Dan saat ini sudah berbeda. Kebutuhan gerabah makin sedikit,” paparnya.
Dalam satu bulan, Suparti mengatakan, dari usaha kerajinannya itu ia masih memiliki omzet Rp 500 ribu sampai Rp 600 ribu.
“Meski pendapatannya tak segede dulu. Alhamdulillah, pekerjaan membuat gerabah ini masih menjadi penopang hidup saya sekeluarga,” pungkasnya. *)