FaktaJombang.com – Perajin anyaman bambu di Dusun Telungrejo, Desa Segodorejo, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, dirundung problem. Yakni, merosotnya permintaan pasar, dan naiknya harga bambu sebagai bahan baku.
Kondisi ini dikatakan Miskan, seorang warga setempat yang masih setia menjalani bisnis membuat perkakas rumah tangga dari anyaman bambu.
Diakuinya, pendapatan dari bisnis kerajinan tersebut merosot tajam sejak pandemi Covid-19 melanda. Menyusul, permintaan pasar berkurang drastis. “Selain berkurangnya permintaan, harga bambu, naik,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di teras rumahnya, pada Sabtu (13/11/2021), tampak dua tumpukan keranjang dari anyaman bambu hasil karyanya. Kendati sudah menumpuk, Miskan tetap saja konsentrasi menganyam hingga satu buah keranjang, dirampungkan. Setelah itu, keranjang itu dia letakkan di atas sendiri.
“Garapan ini saya selesaikan karena bahannya sudah siap. Eman kalau nggak segera diselesaikan,” katanya.
Miskan juga mengaku, keranjang karyanya yang sudah menumpuk itu bukanlah pesanan orang. Ia terus menganyam hanya sebagai stok. Bila ada permintaan mendadak, dia bisa langsung mengirimnya, tanpa repot-repot diburu waktu untuk menyelesaikan.
“Kalau nganggur nggak enak. Makanya terus menganyam, meski belum ada pemesan. Harapannya sih, ada permintaan,” ujar Miskan.
Meski terus menganyam, ia mengaku tidak rugi. Karena bahan baku yang saat ini dia kerjakan, adalah sisa kulakan sebelumnya yang harganya naik tapi belum signifikan.
“Ketika bahan yang ini habis, itu yang bikin pusing. Karena kulakan bahan baku selanjutnya, harganya naik. Sedangkan harga keranjang, tetap,” ungkapnya.
Miskan mengatakan, situasi seperti ini sangat berbeda dibanding lima tahun lalu. “Kalau lima tahun lalum kami masih gampang memasarkan produk anyaman bambu yang kami buat ini. Sekarang, susah,” keluh pria yang sudah puluhan tahun bekerja sebagai perajin anyaman bambu ini.
Senada yang dikatakan Mistikah, tetangganya. Perempuan yang saat itu menganyam menjadi tampah ini juga mengeluhkan naiknya harga bahan baku. Sementara, harga produknya tetap stagnan.
Disamping itu, kata dia, permintaan terhadap produk anyaman bambu sedang lesu. “Tampah yang saya kerjakan saat ini, ya menumpuk begini. Karena belum ada pesanan,” kata Mistikah di sela-sela menganyam di kediamannya.
Ditanya soal harga, tampah hasil karyanya itu biasanya dikulak sebesar Rp 3,700 per biji. “Biasanya, dijual di pasar seharga Rp 4 ribu,” tuturnya.
Mistikah juga mengakui, sulitnya menjual hasil kerajinan anyaman bambu zaman sekarang dibanding beberapa tahun lalu. “Lha nggeh, menjualnya tidak seperti dulu. Dulu sih mudah. Kalau sekarang, permintaan jauh berkurang,” ujarnya.
Atas problem yang dihadapinya, baik Miskan maupun Mistikah berharap, ada campur tangan pemerintah untuk memberikan solusi. Setidaknya, mencarikan peluang pasar agar laku jual signifikan. Serta memberikan alternatif agar kerajinan anyaman bambu bernilai jual tinggi.
“Ya kami ini kan masyarakat kecil. Kalau saja semua harga naik, lalu kapan ya harga produk anyaman bambu ini juga naik. Paling tidak, kami ini diberi jalan keluar agar laku jual tinggi,” pungkas Mistikah. *)