FaktaJombang.com – Proses penyidikan terhadap pemohon atau Moch Subchi Azal Tsani (MSA) tidak tuntas. Karena, untuk sampai peristiwa tersebut terkualifikasi tindak pidana dan penetapaan tersangka, semestinya terlapor atau calon tersangka harus dimintai keterangan lebih dulu.
Namun faktanya, dalam kasus dugaan pelecehan seksual yang menerpa MSA ini, surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP), surat perintah penyidikan, dan surat penetapan tersangka yang dibuat Termohon Satu atau penyidik, adalah pada hari dan tanggal yang sama.
Hal ini diungkapkan Dr King Faisal Sulaiman, salah satu saksi ahli tata negara yang dihadirkan dalam sidang hari keempat sidang praperadilan yang dilayangkan MSA ke Pengadilan Negeri (PN) Jombang, Selasa (25/1/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Bagaimana kita menggaransi subjektivitas penyidik itu tidak merugikan hak asasi tersangka, kalau yang bersangkutan tidak pernah sama sekali diperiksa atau dimintai keterangan umtuk mengkonfrontir bukti-bukti yang ada,” kata King Faisal Sulaiman, usai memberikan keterangan sebagai saksi ahli di persidangan.
Menurutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi 21/PUU-XII/2014 memiliki implikasi bahwa pemeriksaan proses penyidikan sampai pada penetapan tersangka, sekurang-kurangnya harus bisa memenuhi dua alat bukti yang cukup, disertai pemeriksaan pada calon tersangka.
“Ada frasa-nya, disertai dengan pemeriksaan pada calon tersangka. Nah, frasa ini kalau kita tafsir dari spirit dan kandungan dibalik pertimbangan putusan MK ini tidak terpenuhi dalam proses penyidikan terhadap pemohon (MSA) dalam hal ini,” katanya.
Disinggung soal alasan penyidik memiliki dua alat bukti yang cukup, King Faisal menjawab, penyidik tentunya memiliki rujukan yuridis terhadap peraturan internal, seperti keputusan forum bersama MA, Jaksa Agung dan Kepolisian, Perkapolri tentang pedoman standar proses penyidikan.
“Tapi itu kan dikeluarkan tahun 2000. Nah, putusan MK ini melakukan koleksi terhadap multitafsir dan ambivalensi pengertian bukti, yang dalam KUHAP selalu menimbulkan polemik. Ada istilah bukti permulaan, bukti cukup dan bukti perubahan. Nah, tiga parameter inilah yang tidak tuntas dibuat dalam KUHAP, kemudian MK merekonstruksi ketidakjelasan norma ini, lalu keluar putusan itu. Artinya, seharusnya spirit dan putusan MK ini menjadi basis pijakan dari proses penyidikan,” papar pria yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini.
King Faisal Sulaiman juga mengindikasikan penetapan tersangka terhadap MSA dalam kasus dugaan pelecehan seksual ini, cacat hukum. Menurutnya, penetapan tersangka itu tidak diawali dengan pemanggilan yang bersangkutan, dalam kapasitas sebagai saksi, terlapor atau calon tersangka.
“Intinya, sebelum dia ditetapkan tersangka, mestinya didengar dulu. Dan itu dijamin oleh konstitusi kita,” tandasnya.
Pihaknya juga menilai, penetapan tersangka sebelum dilakukannya pemeriksaan terhadap yang bersangkutan, merupakan hal yang inprosedural dan inkonstitusional dalam hal proses penyidikan yang utuh.
Dasarnya, lanjutnya, seorang tersangka harus ditempatkan sebagai subjek dalam pemeriksaan. Artinya, harkat dan martabat dirinya sebagai manusia harus dihargai.
Kemudian, kalau dikaitkan kewajiban yang sudah diberikan seperti pada putusan MK 21/PUU-XII/2014 itu, bahwa penetapan tersangka tidak hanya cukup dua alat bukti, namun juga harus disertai dengan dilakukan pemeriksaan sebelumnya.
“Subjektivitas itu sangat dominan dalam menentukan kualitas tersangka. Tapi ingat bahwa norma itu adalah produk yang kemudian tidak ada garansi akan bermasalah. Itu sebabnya, fungsi MK membetulkan,” ungkapnya.
“Kalau kemudian masih ada yang tercecer, katakanlah ada putusan tapi faktanya pedoman yang dipakai penyidik masih yang lama, misalnya. Menurut saya, ini adalah kesalahan. Karena dia harusnya melakukan penyesuaian, harmonisasi regulasi. Karena aturan yang dibawah tidak boleh bertentangan dengan yang diatas. Lex superior derogat legi inferior,” jelas King Faisal Sulaiman.
Bila ada pernyataan bahwa hal tersebut merupakan regulasi yang berlaku internal dan terdapat konsideran dalam rujukan, menurut King Faisal, bahwa hal tersebut harus lebih dulu diteliti apakah bunyi norma tersebut sudah menyesuaikan dengan revisi melalui putusan MK atau belum.
“Dari apa yang saya lihat dari alasan pemohon dalam praperadilan ini, tampaknya tersangka ini kan sama sekali tidak dimintai keterangan sejak awal. Dan agak aneh, kalau kemudian dalam satu hari, tanggal dan tahun yang sama, keluar tiga surat secara bersamaan yakni SPDP, surat perintah penyidikan, dan surat penetapan tersangka,” ulas King Faisal.
“Ini jelas merugikan kepentingan hukum dari tersangka, mengabaikan prinsip KUHAP yang melindungi hak asasi tersangka juga. Bisa diartikan, ini cacat secara prosedur normatif dalam proses penyidikan,” tambahnya. *)
Tonton videonya: