FaktaJombang.com – Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual mendesak Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur segera menangkap dan menahan MSA alias M Subchi Azal Tsani, Tersangka kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Jombang.
Desakan ini, setelah gugatan Praperadilan dengan nomor 35/pid.pra/2021/PN Sby yang dilayangkan Tersangka dengan Termohon Kapolda Jawa Timur dan Turut Termohon Kepala Kejati (Kejaksaan Tinggi) Jawa Timur, Tidak Dapat Diterima oleh Majelis Hakim. Sidang putusan itu berlangsung Kamis 16 Desember 2021, di Pengadilan Negeri Surabaya.
“Kami juga mendesak Kejaksaan Tinggi Jawa Timur segera melimpahkan perkara kasus kekerasan seksual tersangka M Subchi Azal Tsani ke Pengadilan. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, jangan memberikan toleransi berlama-lama dan jangan lindungi pelaku kekerasan seksual,” ujar Anna, koordinator Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual yang juga Direktur WCC (Womens Cresis Center) Jombang, melalui lembaran rilisnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Seperti diketahui, kasus ini berawal dari sejumlah aduan santriwati di Pondok Pesantren (Ponpes) Shiddiqiyyah, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, yang mengaku telah menjadi korban kekerasan seksual, yang diduga dilakukan M. Subchi Azal Tsani, putra pengasuh Ponpes tersebut.
Dari korban-korban kekerasan seksual yang mengadu, MNK melaporkan kasusnya dan berstatus sebagai korban di Mapolres Jombang, pada 2019 silam.
Anna mengungkapkan, kekerasan seksual ini berlatar belakang relasi kuasa. Mengingat, pelaku merupakan anak pemilik dan pengasuh pondok pesantren tersebut. Dimana, para korban adalah anak didiknya.
“Serta pemilik pusat kesehatan yang sedang melakukan rekruitmen tenaga kesehatan dengan mencari calon pelamar santri/santriwati dari pondok pesantren tempat para korban mondok,” bebernya.
Pelaku memanfaatkan kepercayaan para korban kepadanya. MSA diduga menggunakan kekuasaannya atas korban untuk melakukan perkosaan dan pencabulan. Bahkan, aksi bejat itu diduga juga dilakukan dengan ancaman kekerasan serta ancaman.
“Ancaman tidak lolos seleksi, manipulasi adanya perkawinan, dan penyalahgunaan kepatuhan murid terhadap gurunya. Faktanya, para santriwati yang telah menjadi korban dan berani melapor pun telah dikeluarkan dari pondok pesantren,” jlentrehnya.
Menurut Anna, lemahnya koordinasi instansi aparat penegak hukum antara Polda dan Kejati Jawa Timur membawa konsekuensi lambannya proses hukum dan membuka celah diajukannya permohonan praperadilan tersebut.
“Dampaknya memperkuat reviktimisasi terhadap korban pada proses pembuktian,” pungkasnya. *)
Baca sebelumnya: Praperadilan Putra Kiai Sepuh di Jombang, Pengacara: “Target Kami, Kepastian Hukum”