FaktaJombang.com – Gugatan praperadilan yang dilayangkan MSA, putra kiai sepuh di Kabupaten Jombang kepada Kapolda Jawa Timur di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, akan memasuki putusan akhir.
Kuasa hukum atau Pengacara MSA, Setijo Boesono menyatakan, gugatan praperadilan yang ditujukan kepada Termohon Kapolda Jatim itu, untuk memohon kepastian hukum atas sah atau tidaknya penetapan Tersangka kasus dugaan pemerkosaan atau perbuatan cabul yang disandang MSA selama 2 tahun lebih.
Setijo Boesono berharap, hakim PN Surabaya akan mengabulkan permohonan kliennya yakni membatalkan penetapan tersangka dan menghentikan penyidikan/ menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan (SP-3) terhadap kliennya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, permohonan praperadilan tersebut bukan tanpa alasan. Karena sebelumnya, berkas perkara yang diajukan pihak kepolisi kepada kejaksaan, dikembalikan untuk dilengkapi atau P-19 sebanyak tiga kali
“Sudah ada P-19 tiga kali, sudah ada rapat kordinasi dan konsultasi tiga kali ini terus nanti kemana arahnya,” katanya, saat jumpa pers di salah satu restoran kawasan Raya Kendangsari Surabaya. Selasa (14/12/2021) malam.
Permohonan itu, lanjut Setijo Boesono, juga mengacu pada lampiran ke-10 pada Peraturan Bersama antara Kejaksaan Agung, Mabes Polri, Mahkamah Agung, dan Menkumham tanggal 4 Mei 2010. Dimana, apabila terjadi proses penyidikan ke Kejaksaan sampai ada P-19 tiga kali, maka diatur tidak dapat dilanjutkan.
“Maka saya coba sebagai acuannya itu, sehingga Alhamdullilah pendapat-pendapat ahli hukum yang diperiksa tadi sesuai diatur disitu, dan kita tunjukkan kepada hakim yang menangani praperadilan,” ujar Setijo.
“Dan itu harus dilaksanakan, sebagaimana diatur pada Pasal 7 pada Peraturan Bersama tadi. Kalau ada instansi yang tidak melaksanakan, maka akan dikenai sanksi dari instansinya masing-masing. Dan peraturan ini masih berlaku dan belum dicabut,” sambungnya.
Setijo Boesono juga menampik jika gugatan tersebut hanya mengejar ganti rugi sebagaimana salah satu petitum yang diajukan. Dia menyebut, petitum ganti rugi tersebut sebagaimana diatur Undang-undang.
“Ganti rugi itu bukan target kami. Kami tahu semua nggak akan terjadi instansi pemerintahan ada alat paksa membayar ganti rugi. Bahkan, sulit sekali dilakukan. Sekali lagi, ganti rugi bukan target kami. Bahwa yang menjadi target kami adalah kepastian hukum atas sah atau tidaknya status Tersangka pada klien kami,” tandasnya.
Optimis Dikabulkan Hakim
Setijo Boesono menyatakan optimis, gugatan praperadilan yang diajukan bakal dikabulkan majelis hakim PN Surabaya, berdasarkan bukti-bukti yang dimilikinya dan sudah diserahkan ke hakim.
Dijelaskannya, pihak Pemohon (MSA) mengajukan saksi fakta dan 3 saksi ahli di antaranya 2 ahli hukum dan 1 ahli forensik. Sedangkan pihak Termohon (Kapolda Jatim) menghadirkan 1 saksi fakta dan 2 saksi ahli.
Dasar keyakinan gugatan dikabulkan, lanjut Setijo, berdasarkan hasil dari ahli forensik pihak pemohon. Dikatakannya, visum yang dibuat untuk mendeteksi perkara Pasal 285 KUHP dan Pasal 294 KUHP itu, apakah terjadi pemerkosaan atau tidak, menurutnya tidak sembarangan. Karena ada unsure kekerasan di dalamnya.
“Selanjutnya, visum itu dibuat kapan. Ternyata visum itu dibuat jangka waktu yang lama yaitu 6 bulan setelah yang dikatakan peristiwa hukum perkosaan tadi. Nah, ini ranahnya ahli forensik. Kalau sudah 6 bulan, apakah masih ada sisa perkosaan. Katakanlah (maaf) seperti sperma, tentang robekan, luka, jelas nggak ada semua. Maka, bisa dikatakan hasil visum ini tidak akurat,” urainya.
Apalagi, lanjutnya, ada 2 visum yang ternyata hasilnya berbeda. Menurutnya, dari dua visum tersebut, manakah yang dipakai pijakan.
“Intinya, hasil visum tadi tidak bisa digunakan karena akurasinya kurang. Selain itu, tidak ada menunjukkan unsur kekerasan. Padahal pasal 285 harus ada unsur kekerasan. Katakanlah kekerasan batin, harusnya ada pendapat dari psikiater, dan nggak ada,” jelas Setijo Boesono.
Untuk salah satu ahli hukum pihak Pemohon (MSA), lanjutnya, menyinggung tentang validitas visum yang disampaikan pendapat ahli hukum forensik. Dimana salah satu ahli hukum tersebut meragukan adanya unsur kekerasan karena antara peristiwa pemerkosaan dengan visum terjadi durasi cukup lama.
“Memang ada kerobekan. Karena kalau robek, bisa saja hubungan suami istri itu robek. Tapi persoalannya, apakah unsur kekerasan yang disangkakan sesuai Pasal 285. Nah, dimana membuktikannya. Karena nggak ada kekerasan di bagian tubuh korban, katakanlah di leher (maaf) payudara, rambut juga nggak ada. Sehingga kalau terjadi kerobekan karena benda tumpul, hubungan kausulitas dengan pihak Terlapor (MSA) dimana?,” tandas Setijo Boesono. *)
Baca sebelumnya: Dugaan Pencabulan Putra Kiai Sepuh di Jombang, Kapolda Jatim Dipraperadilankan