FaktaJombang.com – Warga di 4 desa di Kabupaten Jombang, mengaku tertekan atas intimidasi oknum PT KAI (Kereta Api Indonesia). Mereka diminta membayar kembali sewa tanah yang diklaim milik PT KAI.
Sejauh ini, warga yang takut terhadap intimidasi itu, melakukan pembayaran sewa. Hanya saja, pembayaran itu tanpa disertai kwitansi sebagai bukti pembayaran. Besaran sewa per tahun bervariasi, mulai Rp 5 juta, Rp 6 juta, Rp 18 juta, Rp 30 juta, hingga 40 juta.
Jika tidak membayar uang sewa, oknum tersebut meminta warga agar mengosongkan rumah yang berdiri di tanah yang diklaim milik PT KAI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keluhan warga yang tergabung Paguyuban Penghuni Rumah Tanah Negara (PPRTN) Jombang Raya ini diutarakan di depan Komisi A DPRD Jombang saat hearing atau Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Kamis (16/12/2021).
Ketua PPRTN Jombang Raya, Muhtar Jamali (44) mengatakan, paguyubannya beranggotaan sektiar 700-an orang yang kini menempati lahan yang diklaim sebagai eks kereta api tersebut.
Tujuh ratusan warga tersebut, di antaranya berada di Desa Kedungrejo Kecamatan Megaluh, Desa Bedahlawak Kecamatan Tembelang, Desa Rejoagung dan Desa Losari Kecamatan Ploso.
“Hearing dengan Komisi A DPRD Jombang ini adalah upaya kami untuk kesekian kalinya, dalam mencari solusi atas masalah yang sedang kita hadapi,” kata Muhtar Jamali.
Dikatakannya, persoalan tersebut bergejolak sejak tahun 2010. Dalam durasi lebih dari satu dekade itulah, belum ada titik terang soal kejelasan status tanah tersebut apakah benar-benar milik PT KAI. Karena hal tersebut, berkaitan dengan sirkulasi uang sewa yang dibayarkan warga penghuni tanah tersebut selama ini.
“Kami tidak mau membayar sewa kontrak, sebelum PT KAI memberikan kejelasan soal status tanah tersebut,” tandasnya.
Muhtar Jamali menyayangkan sikap oknum tersebut saat meminta uang sewa. Padahal, warga yang tergabung di paguyuban yang diketuainya itu, memiliki hak yang sama di depan hukum.
Dikatakannya, mengacu pada UU Pokok Agraria No 16 jo 53 yang menyebutkan bahwa negara tidak berhak menyewakan tanah karena negara tidak memiliki tanah. Juga UUD Pasal 33 ayat 3.
“Tindakannya ngawur. Menggedor-gedor pintu rumah saat meminta uang sewa. Bila tidak membayar sewa, kami disuruh pergi dan mengosongkan rumah. Mereka juga bilang akan dipakai orang lain. Dan mereka selalu ngotot jika tanah tersebut adalah milik PT KAI,” beber Muhtar Jamali.
Pihaknya juga kerapkali mempertanyakan kejelasan soal uang sewa lahan tersebut ke Kepala Sewa Kontrak, maupun Kepala Bagian Aset PT KAI, maupun legal hukum. “Mereka selalu menjawab, itu adalah oknum. Terus kami mengadu ke siapa lagi,” ucapnya.
Tidak berhenti di situ, Muhtar Jamali juga sudah beberapa kali melakukan audensi. Terakhir pada minggu lalu, pihaknya bersama pengurus paguyuban bertemu dengan PT KAI Daop 7 Madiun yang difasilitasi Pemdes Kedungrejo, Kecamatan Megaluh. Hanya saja, ujung-ujungnya tidak ada hasil.
“Kita juga menanyakan hal itu. Jawabnya apa? Mereka jawabnya, kita baru menjabat,” kata Muhtar.
Selain itu, PPRTN juga sempat mengadu ke Sekretariat Negara (Setneg), Jakarta. “Kami mendapat balasan dari Setneg dan Setneg menyurati ke instansi terkait mengenai tanah tersebut. Mereka tidak menindaklanjuti,” sambungnya.
Terlaksananya RDP dengan Komisi A DPRD Jombang tersebut, pihaknya berharap, agar Bupati Jombang dan Komisi A bisa segera menerbitkan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) atas tanah yang ditinggali mereka.
“Karena di wilayah Jombang bagian selatan sudah terbit SPPT dan tidak ditarik uang sewa. Kenapa di Jombang bagian utara tidak bisa? Harapan kami, harus bisa. Karena tanah itu milik negara, bukan milik PT KAI. Jadi kami mau membayar ke negara,” tegasnya.
Babinsa Disebut-sebut Ikut Mengawal Oknum
Muhtar Jamali juga mengatakan, dalam melakukan penarikan uang sewa ke setiap rumah warga yang tinggal di tanah yang diklaim milik PT KAI, oknum tersebut juga dikawal Babinsa.
“Mengajak Polsus dan Babinsa dari empat desa setempat. Mereka mengawal dalam penarikan,” ucap pria yang tinggal di lahan yang diklaim milik PT KAI di Desa Kedungrejo ini.
Dia menyatakan, banyak warga yang merasa ketakutan. Terutama ibu-ibu dan janda-janda. “Mereka ketakutan. Apa yang kami lakukan. Mau bayar tidak punya uang, kalau tidak membayar akan digusur disuruh pindah,” bebernya.
Disinggung apakah persoalan sudah disampaikan ke Kepala Desa (Kades) setempat. “Semua kepala desa sudah pernah kami sampaikan. Respon mereka, bukan wewenangnya. Dan mereka sendiri ketakutan. Dan mereka tidak melakukan apa-apa,” pungkasnya. *)