Saksi Ahli Pidana: Perkara yang Membelit Putra Kiai di Jombang Terkesan Dipaksakan

Suparji ahli hukum pidana
Suparji, saksi ahli hukum pidana diwawancarai wartawan usai memberikan keterangan di Pengadilan Negeri (PN) Jombang, Selasa (25/1/2022).

FaktaJombang.com – Tak hanya saksi ahli hukum tata negara yang menilai penetapan status tersangka pada Moch Subchi Azal Tsani atau MSA terkategori cacat prosedur. Saksi ahli hukum pidana, Suparji juga berpendapat senada, yakni penetapan tersangka MSA, putra salah satu kiai di Jombang itu cacat hukum.

Pria yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar, Jakarta ini dihadirkan untuk memberikan keterangan sebagai ahli hukum pidana, usai pemberian keterangan dari saksi ahli hukum tata negara Dr King Faisal Sulaiman, dalam sidang hari keempat gugatan praperadilan nomer register 1/Pid.Pra/2022/PN Jbg yang dilayangkan MSA di Pengadilan Negeri (PN) Jombang, Selasa (25/1/2022).

Suparji menilai, prosedur sebagaimana putusan MK 21/PUU-XII/2014 tidak dipenuhi, yakni tersangka tidak pernah diperiksa sebelumnya, dan alat buktinya juga tidak mendukung. Sebab itu, penetapan tersangka dalam perkara dugaan pelecehan seksual yang mendera MSA ini, tidak sah secara hukum.

“Karena tidak sesuai prosedur, ini adalah cacat hukum. Antara lain KUHAP, terutama putusan MK 21/PUU-XII/2014 yang mengatur penetapan tersangka itu, minimal dua alat bukti dan disertai atau diawali dengan pemeriksaan terlapor atau calon tersangka,” katanya usai memberikan keterangan di dalam persidangan yang berlangsung di ruang Kusuma Admaja, PN Jombang, Selasa (25/1/2022).

Suparji mengatakan, penyidik memang memiliki kewenangan dalam hal ini. Namun, kata dia, penyidik juga tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Penyidik, harusnya berpijak pada standar yang jelas sesuai aturan yang berlaku.

“Kewenangannya dilakukan, tapi tidak sesuai prosedur. Maka potensi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan, dalam bentuk penyimpangan dalam jabatan atau pelanggaran resmi)
muncul di situ,” tandas Suparji.

Pihaknya juga mengatakan, berkas perkara kasus dugaan pelecehan seksual MSA ini sudah mengalami P19 sebanyak 3 kali, semestinya perkara ini tidak dilanjutkan atau dihentikan. Hanya saja, pasca praperadilan di PN Surabaya beberapa waktu lalu yang memutuskan tidak diterimanya gugatan tersebut, kemudian berkas perkara ini dinyatakan P21 atau lengkap.

“P-19 sebanyak 3 kali ini, seharusnya perkara ini dihentikan. Kemudian perkara ini tetap dilanjutkan, mungkin penyidik mempunyai pandangan atau bisa juga ada faktor lain. Mungkin seolah-olah bahwa ini tidak kooperatif dan sebagainya, sehingga dilakukan P21. Sepertinya proses hukum ini berjalan terus, sementara ruang-ruang kontrol ini tidak dipedulikan atau diabaikan,” ulas Suparji.

Suparji juga menyatakan, perkara ini terkesan dipaksakan. Mengingat, lanjut dia, tiga surat yakni Surat Perintah Penyidikan, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan Surat Ketetapan Tersangka pada MSA itu, dikeluarkan pada hari, tanggal, bulan dan tahun yang sama.

“Kan nggak mungkin, dalam satu hari, keluar tiga surat. Sementara terlapor atau calon tersangka belum pernah diperiksa, sehingga ada kecenderungan perkara ini harus lanjut atau dengan kata lain dipaksakan, begitu,” ulasnya.

Disinggung bila Hakim tunggal dalam praperadilan kali ini memutuskan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) atau tidak dapat diterma lagi, Suparji berpendapat, putusan NO dalam gugatan praperadilan kali ini, tidak cukup alasan dan menjadi catatan tidak baik. Karena secara formil untuk praperadilannya, kata Suparji, sudah memenuhi.

“Saya percaya, hakim akan bersifat progresif melihat fakta sebenarnya. Sehingga akan memutuskan mengabulkan permohonan praperadilan ini. Jadi tidak cukup alasan untuk memutus NO. Kalau yang kemarin di-NO itu kan karena kurang pihak, sekarang ini kan pihaknya sudah terpenuhi,” pungkasnya. *)

Tonton videonya:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *